Sudah sembilan tahun, Azwa telah selesai menimba ilmu di Pesantren. Setelah dinyatakan lulus ujian dan kelayakan dari pihak pesantren, ia pun memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Kemudian ia beranggapan akan mengamalkan ilmu yang di perolehnya semenjak di pesantren, tapi ia bimbang untuk mengamalkan dimana???
Setelah ia pulang dari pesantren, ia belum melintaskan rencana apapun. Tanpa bermaksud ikut campur akan memaksakan kehendak, akhirnya ayahnya Abdul Rohim memberikan wejangan-wejangan yang sekiranya dapat membuka jalan pikiran putranya yang di rasa buntu.
“ jika demikian, sebelum kamu benar-benar menentuan pilihan, alangkah baiknya kamu mengisinya dengan mengajar di pondok desa kita saja terlebih dahulu. Siapa tahu selama mengajar kamu akan menemukan jawaban. Sebab berjalan atau tidaknya suatu ilmu itu tergantung pengendalinya. Ilmu tidak akan berkembang, jika di diamkan saja”, ujar abahnya, “ ibarat biji,ia tidak akan tumbuh, jika ia hanya di tempatkan pada tempat yang tak semestinya di tempati, ia akan tumbuh jika berada pada tempatnya yakni tanah. Bahkan jika memang ia layak berubah , maka ia akan mendatangkan kemanfaatan. Demikian dengan ilmu, ia tak jadi suatu apapun, jika ilmu tidak di amalkan, justru ia akan jadi bencana bagi pemiliknya”.
Suatu kesan mendalam yang mungkin tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya , yakni berhubungan asmara dengan Nadjwa. Tidak ada seorangpun yang tahu hubungan asmaranya semenjak di pesantren dulu, kecuali tuhan berikut penduduk langit yang mengetahui hal semacam itu. Justru semua rekan-rekan sepondoknya mengira bahwa ia menjalin hubungan asmaranya dengan Aminah, Aminah adalah teman dekatnya sekaligus ia yang menjembatani hubungan Azwa dan Nadjwa.
Uniknya,dalam menjalani hubungan asmara itu, tak selembar atau benda-benda apapun ada di antara mereka berdua. Karena keduanya sudah tahu persis, benda-benda itu akan mempercepat proses pelacakan adanya sebuah hubungan asmara jika kelak terjadi sesuatu. Cukuplah ia mencintai dari hati yang paling dalam. Cinta yang tak terucap adalah hakikat kemurnian, sedangkan cinyta yang di ucapkan adalah penegasan adanya sebuah cinta dalam jiwa sang pecinta. Ketika semua warna hitam telah terungkap dari putihnya kejujuran hati atas nama cinta. Adakah cinta itu indah dan harmonis seperti sedia kala? Cinta hadir di antara kebahagiaan yang tercidera atas getar rasa yang tak ingin berbagi. Di antara dunia keilmuan tentang keagamaaan, terselip sebuah romantika cinta yang begitu rahasia, indah dan terkadang syahdu melenakan jiwa.
Dan ketika perpisahan itu terjadi di antara mereka, keduanya ikhlas menerima perjalanan cintanya. Kesedihan yang terjadi merupakan kesedihan manusiawi. Karena akan menjalani hari-hari tak seperti biasanya.
“ apakah setelah perpisahan ini, perjalanan cinta kita akan lebih mudah?” ucap Nadjwa ketika menyempatkna diri untuk bertemu dengan kekasihnya.
“tak semudah itu memusnahkan cinta yang telah merasuk di hati ini. Karena cinta ini telah mengenal cinta pertamanya yang ada pada dirimu. Aku merasa jiwamu telah merasuk ke dalam aliran darahku. Jatuhlah kini segala rasaku padamu. Kau hadir dalam bagian hidupku dan merubah siang malamku dengan mimpi indah.kau telah memalingkan segala hasrat cintaku dari pesona cinta perempuan lain”. Sungguh ucapan itu telah mengaduk-aduk perasaan Nadjwa ia makin terpaku bisu.
“yang membuatku lebih takut setelah kamu berada di rumah adalah kamu akan melupakan semua tentang kisah kita, dan kamu memilih orang lain sebagai pendamping hidupmu kelak”, akhirnya Nadjwa memberanikan diri apa yang ia pendam ketika itu, “ itulah yang menghantui pikiranku beberapa hari ini atas perpisahan ini. Pastilah aku akan sakit hati, sakit sejak segala jasad dan juga rasaku atas risalah cinta. Jika cinta telah pergi meninggalkanku, lalu siapa yang akan mengobati segala sakitku?”. Lanjutnya masih dengan wajah yang tertunduk.
Perpisahan telah di ambang mata. “ tunggulah kedatanganku !!! selama itu, aku akan setia padamu. Dan ku harap kamu dapat bersabar akan kedatanganku. Jangan tutup lembaran serita cinta kita, walaupun kita berada di tempat yang berbeda.” Nadjwa hanya mampu mengangguk. Cukup dengan mata mereka saling berpeluk erat, dan perpisahanpun terlaksana.
Hari demi hari berlangsung, tak terasa meraka telah berpisah selama 2 bulan, dan di saat itulah Azwa menerima surat yang di kirim adiknya dari Nadjwa. Isi suratnya bahwa ia akan menikah sebulan lagidengan anak juragan tembakau di desanya.
Sungguh tragis kabar buruk yang menimpa Azwa, perasaanya perlahan-lahan di gerogoti oleh rasa sakit yang terasa ngilu tak tertahankan. Seluruh jiwanya kalut melemah. Perasaan cinta yang selama ini ia pendam, ternyata hanya sia-sia belaka.
Sekian setelah lama, perasaan Azwa terpecah belah, dan di kemudian hari ia mendapat berita bahwa Nadjwa mengalami sakit yang amat parah. Ia mendapat berita itu dari seseorang yang cukup tua dengan membawa mobil yang mengkilap.
Ternyata orang itu suruhan Nadjwa, bahwa dia di suruh untuk menjemput azwa. Akhirnya dengan tergesa-gesa mereka segera meninggalkan tempat. “ aku relakan lahir batinkutelah menimpa nestapa ini, hanya untuk mempertahankan sebuah harapan, walau getar yang aku rasakan, walau sampai kapan aku kuat bertahan??” ucap Nadjwa kepada Azwa. “ aku suruh supirku untuk jemput kamu karena aku ingin melihat wajahmu sekian terakhir ini, sebelum aku menutup kedua mataku.”
Beberapa menit kemudian akhirnya Nadjwa menutup kedua matanya untuk kesekian terakhir kalinya. Suasana dukapun datang menyelimuti ruang itu, bersamaan dengan terbenamnya sang surya di ufuk barat.
0 komentar:
Posting Komentar